SELAMAT DATANG TEMAN-TEMAN GURU GEOGRAFI TINGKAT MADRASAH ALIYAH SULAWESI UTARA, GORONTALO DAN MALUKU UTARA

Minggu, 10 Juni 2012

PTK IPA SD ( Pembelajaran Inkuiri)


JUDUL: Meningkatkan Prestasi dan Motivasi Belajar IPA Dengan Menerapkan Pengajaran Berbasis Inkuiri Pada Siswa Kelas V SD ................Tahun Pelajaran ..........

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menigkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikanlain, dan peningkatan mutu manajemen sekolah, namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang memadai.
Mengajar bukan semata persoalan menceritakan. Belajar bukanlah konsekuensi otomatis dari perenungan informasi ke dalam benak siswa. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan kerja siswa sendiri. Penjelasan dan pemeragaan semata tidak akan membuahkan hasil belajar yang langgeng. Yang bisa membuahkan hasil belajar yang langgeng hanyalah kegiatan pengajaran berbasis inkuiri.
Apa yang menjadikan pengajaran menjadi aktif? Agar belajar menjadi aktif siswa harus mengerjakan banyak sekali tugas. Mereka harus menggunakan otak, mengkaji gagasan, memecahkan masalah, dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Pengajaran berbasis inkuiri harus gesit, menyenangkan, bersemangat dan penuh gairah. Siswa bahkan sering meninggalkan tempat duduk mereka, bergerak leluasa dan berfikir keras (moving about dan thinking aloud)
Untuk bisa mempelajari sesuatu dengan baik, kita perlu mendengar, melihat, mengajukan pertanyaan tentangnya, dan membahasnya dengan orang lain. Bukan Cuma itu, siswa perlu “mengerjakannya”, yakni menggambarkan sesuatu dengan cara mereka sendiri, menunjukkan contohnya, mencoba mempraktekkan keterampilan, dan mengerjakan tugas yang menuntut pengetahuan yang telah atau harus mereka dapatkan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis mencoba menerapkan salah satu metode pembelajaran, yaitu metode pembelajaran berbasis inkuiri untuk mengungkapkan apakah dengan model berbasis inkuiri dapat meningkatkan motivasi belajar dan prestasi sains. Dalam metode pembelajaran berbasis inkuiri siswa lebih aktif dalam memecahkan untuk menemukan sedang guru berperan sebagai pembimbing atau memberikan petunjuk cara memecahkan masalah itu.
Dengan menyadari gejala-gejala atau kenyataan tersebut diatas, maka dalam penelitian ini penulis penulis mengambil judul “Meningkatkan Prestasi dan Motivasi Belajar IPA Dengan Menerapkan Pengajaran Berbasis Inkuiri Pada Siswa Kelas ……Tahun Pelajaran .....”

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas maka penulis merumuskan permasalahnnya sebagi berikut:
1.      Bagaimanakah peningkatan prestasi belajar siswa dengan diterapkannya pengajaran berbasis inkuiri pada siswa Kelas ………… tahun pelajaran ....?
2.      Bagaimanakah pengaruh model pengajaran berbasis inkuiri terhadap motivasi belajar siswa Kelas ……… tahun pelajaran ....?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
  1. Ingin mengetahui seberapa jauh pemahaman dan penguasaan mata pelajaran IPA setelah diterapkannya pengajaran berbasis inkuiri pada siswa Kelas ……tahun pelajaran .....
  2. Mengetahui pengaruh motivasi belajar siswa setelah diterapkan pengajaran berbasis inkuiri dalam membangunkan ingatan siswa terhadap materi pelajaran IPA setelah diterapkan pengajaran berbasis inkuiri pada siswa Kelas …… tahun pelajaran .....

D.   Hipotesis Tindakan
          Berdasarkan pada permasalahan dalam penelitian tindakan yang berjudul ……yang dilakukan oleh peneliti, dapat dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut:
"Jika Proses Belajar Mengajar Siswa Kelas ……menggunakan metode……. dalam menyampaikan materi pembelajaran, maka dimungkinkan minat belajar dan hasil belajar siswa kelas ………akan lebih baik dibandingkan dengan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru sebelumnya".

E.        Kegunaan Penelitian
Adapun maksud penulis mengadakan penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai:
  1. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang peranan guru dalam meningkatkan pemahaman siswa belajar IPA
  2. Sumbangan pemikiran bagi guru dalam mengajar dan meningkatkan pemahaman siswa belajar IPA di ………… tahun pelajaran .....
  3. Meningkatkan motivasi belajar IPA.
  4. Mengembangkan metode pembelajaran yang sesuai dengan bidang studi IPA.
F.   Definisi Operasional Variabel
Agar tidak terjadi salah persepsi terhadap judul penelitian ini, maka perlu didefinisikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Metode pembelajaran berbasis inkuiri adalah:
Suatu pendekatan pengajaran yang melibatkan siswa didorong untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. 
  1. Motivasi belajar adalah:
Merupakan daya penggerak psikis dari dalam diri seseorang untuk dapat melakukan kegiatan belajar dan menambah keterampilan, pengalaman. Motivasi mendorong dan mengarah minat belajar untuk tercapai suatu tujuan.
  1. Prestasi belajar adalah:
Hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau dalam bentuk skor, setelah siswa mengikuti pelajaran.
G.        Batasan Masalah
Karena keterbatasan waktu, maka diperlukan pembatasan masalah yang meliputi:
  1. Penelitian ini hanya dikenakan pada siswa kelas ……… Tahun Pelajaran .....
  2. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September tahun pelajaran .....
  3. Materi yang disampaikan adalah pokok bahasan ……
Untuk mendapatkan contoh PTK Lengkap Bab I s/d V segera Hub : 
085240976887 PIN BB 28140973


JUDUL PTK TINGKAT SD/MI YANG TERSEDIA DI KAMI:
  1. Meningkatkan Prestasi Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial Melalui Pembelajaran Kooperatif Model Think Pair-Share Pada Siswa SD/MI......
  2. Penggunaan Media Gambar Guna Meningkatkan Keaktifkan Siswa Dalam Pembelajaran IPS Kelas IV SD/MI ..... Tahun Pelajaran .....
  3. Penerapan Pendekatan Proses 5 Fase Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Bahasa Indoensia Kompetensi Menulis Pada Siswa Kelas V SD/MI ..... Tahun Pelajaran .....
  4.   Penerapan Metode Inkuiri Pada Mata Pelajaran Penjaskes Untuk Meningkatkan Teknik Bermain Bola Tangan Pada SD/MI...... Tahun Pelajaran ....
  5. Pengaruh Metode Belajar Aktif Model Pengajaran Terarah Dalam Meningkatkan Prestasi Dan Pemahaman Pelajaran IPS Pada Siswa Kelas V SD/MI .....
  6. “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar IPA Dengan Metode Pembelajaran Penemuan Terbimbing Pada Siswa Kelas IV  SD/MI.......Tahun Pelajaran ....
  7. Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar IPA Dengan Metode Penbelajaran Penemuaan (Discovery) Pada Siswa Kelas VI SD/MI....Tahun Pelajaran ...
  8. Peranan Eksplorasi Pustaka Untuk Meningkatkan Ketrampilam Menulis Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas IV SD/MI ..... Tahun Pelajaran ....
  9. Metode Demostrasi Dalam Upaya Meningkatkan Proses Belajar Dan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas ....SD/MI..... Tahun Pelajaran ....
  10. Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Dengan Menerapkan Model Pembelajaran PAKEM Pada Siswa Kelas .....SD/MI .... Tahun Pelajaran .....
  11. Upaya Meningkatkan Prestasi dan Kualitas Belajar Bahasa Indonesia Pada Materi Berbicara dan Membaca Dengan Menerapkan Metode STAD dan Metode Role Playing pada Siswa Kelas VI SD/MI....Tahun Pelajaran ....
  12. Peningkatan Proses Pembelajaran Tentang Luas Bangun Melalui Model Kooperatif STAD dan Kuis Pada Siswa Kelas ....SD/MI....Tahun Pelajaran ....
  13. Penerapan Metode Kooperatif Model Group Investigation Sebagai Alternatif Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Pada Siswa SD/MI....
  14. Dll ada 44 Judul PTK Tingkat SD/MI

Sabtu, 02 Juni 2012

Budaya Corat-coret, Potret Pendidikan Tidak Berkarakter

Hari ini Sabtu, 26 Mei 2012 adalah hari yang sangat mendebarkan bagi siswa kelas XII. Karena hari itu, pengumuman Ujian Nasional (UN) serentak dilakukan di seluruh wilayah 
Indonesia oleh semua sekolah setingkat SMA/MA dan SMK.

Prosentase kelulusan UN tahun ini meningkat 27%. Menurut Mendikbud Muhammad Nuh, “Dibanding tahun lalu, ada kenaikan dari sisi kelulusan sekitar 27 persen,”. Secara Nasional, tahun lalu tingkat kelulusan siswa SMA 99,22% dan tahun ini 99,50%. Sebuah Angka Kelulusan yang sangat fantastis secara kuantitatif.

Budaya yang Salah dari Generasi Pendahulu

Untuk merayakan kelulusannya, para siswa seperti biasanya setiap tahun, selalu melakukan aksi corat-coret baju seragam mereka. Agar lebih seru, mereka pun berkumpul di gerbang sekolah dan mulai melakukan aksi corat-coret dan berkonvoi dengan sepeda motor mereka di sepanjang jalanan di kota mereka. Rasanya tidak puas kalau mereka tidak turun ke jalan raya yang sangat ramai dan padat. Maka mereka pun masuk ke jalan raya dan menghadang para pengguna jalan raya. Lampu Stop (traffic light) tidak mereka gubris, yang penting mereka senang. Bisa dibayangkan bagaimana macetnya jalan raya di kota-kota besar ibukota propinsi atau kabupaten. Dengan bangganya, mereka memamerkan wajah urakan mereka. Bak Lady Gaga, mereka pun mulai menyemprot seragam mereka dengan spidol dan pilox. Rambut mereka menjadi pelangi dan pakaian mereka compang-camping. Wajah mereka di make-up bak setan kesiangan atau seperti zombi, mayat yang baru bangkit dari kuburan. Anak-anak lugu hasil pendidikan Indonesia ini seolah tanpa salah melakukan apa saja mau mereka di jalanan. Tidak ada sebenarnya yang mereka cari. Mereka hanyalah generasi pengekor, hanya ikutan-ikutan dan sepertinya harus “melestarikan” budaya salah ini dari budaya kakak kelasnya tahun lalu dan untuk diikuti oleh adik kelasnya di tahun-tahun berikutnya.

Yang patut disayangkan, malah banyak terjadi tawuran dengan senjata tajam, terjadi kecelakaan di jalanan, minum minuman keras, dan sebagainya, hingga ada yang tewas selama konvoi. Dan yang mengerikan buat orang tua, seusai pengumuman, beberapa siswa di suatu kota melakukan pesta seks. Nauzubillah. Apakah ini pertanda kiamat sudah dekat?

Inilah potret wajah pendidikan di Indonesia sebagai hasil lemahnya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sangat minimnya jam-jam pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri ditengarai juga semakin menjauhkan para siswa akan nilai-nilai moral, etika, budaya, dan meremehkan dosa. Mereka cenderung ingin melanggar aturan. Mereka pun tuli dari nasehat agama dan gurunya. Yang penting mereka bisa lulus dan happy. Inilah pertanda telah lahirnya sebuah generasi instan, generasi copy paste, dan masa bodoh. “Emangnya Gue Pikirin“, begitulah celoteh mereka kalau dinasehati.

Angka Kelulusan sekedar Lipstik


Angka kelulusan yang mendekati angka sempurna 100% tentu saja sangat membanggakan bagi pihak sekolah dan pejabat terkait yang merasa “telah berhasil”. Itu artinya secara kuantiattif, siswa-siswa Indonesia sudah pintar dan sudah cerdas.  Tidak satu orang guru pun tentunya yang tidak suka kalau muridnya lulus 100% asalkan itu merupakan hasil nyata dari kerja guru yang telah mendidik muridnya selama 3 tahun. Namun, akan menjadi tanda tanya, kalau ternyata perolehan nilai antara anak yang cerdas dan yang tidak, ternyata terbalik. Banyak ditemukan, nilai 10 (nilai sempurna) diraih oleh siswa yang biasa-biasa saja. Tragisnya, pernah terjadi anak yang pintar di sekolah tidak lulus ujian nasional. Sudah pasti menjadi tanda tanya.

Tetapi jika mau jujur, jika semua guru di sekolah-sekolah di Indonesia ditanya (atau dilakukan polling), apakah mereka yakin terhadap nilai siswanya? Saya yakin, lebih banyak guru yang menjawah “Tidak Yakin”. Kasus ini sudah terjadi di seluruh Indonesia. Anehnya juga, mata pelajaran Matematika (yang dianggap sangat sulit oleh siswa) ternyata banyak yang memperoleh nilai 8,00 sampai 10,00. Sementara nilai Bahasa Indonesia (yang dianggap relatif mudah) justru lebih kecil perolehannya (kisaran 3,00 sampai 7,00).

Jadi kebanggan terhadap tingginya angka kelulusan dan tingginya perolehan nilai di setiap sekolah hanyalah kebanggan semu dan lipstik semata. Sebuah angka yang disenangi oleh Para pejabat semisal kepala dinas, bupati, gubernur, hingga menteri. Hakekat pendidikan yang rohnya berisi penilaian proses, kejujuran, kerja keras, dan disiplin sepertinya sudah tercerabut dari tubuh pendidikan di Indonesia. Maka lahirlah output pendidikan “yang penting lulus”, “yang penting ikut senang”.

Kembali ke Sistem yang Lebih Baik

Pada kurikulum lama (1975, 1984, 1994) masih ada mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Sekarang (Kurikulum KTSP) sudah diganti dengan mata pelajaran Kewarganegaraan, yang seolah menghilangkan roh moral. Jadi sebaiknya mata pelajaran agama dan moral pancasila ditambah jamnya di sekolah. Selain itu, perlu juga ditambah pendidikan budaya, etika, dan tata krama.

Untuk masalah penilaian dan penentuan kelulusan, lebih baik kembali menggunakan sistem lama yaitu NILAI EBTANAS MURNI (NEM). Saat sistem EBTANAS dan NEM diberlakukan, nilai NEM benar-benar mencerminkan nilai murni dari siswa tanpa banyak “bantuan” atau pertolongan dari nilai rapot atau lainnya. Penentuan kelulusan pun lebih fair dilakukan oleh sekolah. Karena sekolah (para guru) jauh lebih tahu proses yang terjadi selama mengajar dan mendidik siswanya. Siapa yang pantas dan tidak pantas untuk lulus. Tidak saja berpatokan pada nilai kognitif (seperti yang dilakukan pemerintah saat ini), tetapi juga psikomotorik, dan afektif secara terpadu dan komprehensif.

Sabtu, 14 April 2012

Penilaian Hasil Belajar

Penilaian Hasil Belajar peserta didik dilakukan oleh Pemerintah, Satuan Pendidikan, dan Pendidik. Penilaian oleh pemerintah dilakukan untuk
mengukur SKL dengan cara Ujian Nasional. Dan Penilaian oleh satuan pendidikan dilakukan untuk mengukur SKL sekolah dengan Ujian Sekolah. Sedangan penilaian oleh untuk pendidik dilakukan untuk mengukur keberhasilan peserta didik pada SK dan KD yang dilakukan dengan Ulangan.
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas
(PP No. 19 Th 2005 Pasal 64 ayat 1 dan 2).
Ulangan Harian
Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih. Bentuk penilaiannya berupa tes, non tes atau gabungan tes dan non tes. Hasil dari ulangan harian menjadi Nilai Harian (NH).
Prosedur penilaian ulangan harian dilakukan secara terus menerus pada proses pembelajaran untuk melihat kemajuan kompetensi peserta didik. Dalam proses pembelajaran nilai harian ditentukan berdasarkan nilai tes kompetensi (dalam kelas biasa jika suatu guru menyebut dengan istilah "ulangan") dan nilai tugas harian yang diambila dari nilai non tes berupa PR, tugas mandiri, pengamatan, portofolio dll.
Pelaksanaan ulangan harian didasarkan pada SK atau KD. Misalnya jika sebuah mata pelajaran mempunyai 5 SK maka akan 5 Ulangan Harian atau 5 Nilai Harian. Jadi nilai harian adalah nilai SK atau nilai KD. Penilaian di SMP dan MTs, nilai harian dilakukan berdasarkan jumlah SK. Sehingga jika suatu mata pelajaran mempunyai 9 SK maka pendidik harus melakukan pengukuran untuk mendapatkan 9 nilai harian. Untuk SMA penilaian nilai harian biasanya dilakukan berdasarkan pokok bahasan. Misalnya Matematika mempunyai 4 pokok bahasan, maka nilai harian yang harus diambil ada 4, yaitu NH1, NH2, NH3 dan NH4 yang masing-masing merupakan nilai harian dari misalnya Dimensi Tiga, Logika Matematika, Persamaan Kuadrat dan Trigonomteri.
Berikut salah satu contoh kolom untuk menghitung Nilai Harian 1 berdasarkan Tugas Harian dan Nilai Tes (Nilai Ulangan). Jika setelah diakumulasi antara nilai tugas dan nilai ulangan kemudian dibandingkan dengan KKM, jika kurang dari KKM maka harus dilakukan pembelajaran remedial dan jika lebih dari KKM harus masuk dalam daftar pembelajaran pengayaan.
Ulangan Tengan Semester
Ulangan tengah semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Bentuk penilaian berupa tes baik tes tertulis maupun tes perbuatan dan menghasilkan satu nilai yaitu Nilai Tengah Semester (NTS).
Ulangan Akhir Semester
Ulangan akhir semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester.
Ulangan kenaikan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik di akhir semester genap untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester genap pada satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket.
Bentuk penilaian yang dapat digunakan berupa tes tertulis baik tes objektif dan atau tes bentuk uraian. Hasil pengukurannya menghasilkan satu nilai yaitu Nilai Akhir Semester (NAS).
Nilai Laporan Hasil Belajar siswa pada akhir semester ditentukan oleh Nilai Harian, Nilai Tengah Semester dan Nilai Akhir Akhir Semester berdasarkan koefisien perbandingan yang telah ditentukan.
Nilai LHB = (xNH + yNTS + zNAS) / x+y+z
atau
Nilai LHB = %x NH + %y NTS + %z NAS
Secara garis besar proses penilaian hasil belajar secara umum ditampilkan pada bagan di bawah ini:
Atau bisa ditampilkan dalam kolom perhitungan nilai pengetahuan, nilai praktek dan nilai sikap serta profil ketercapaian kompetensi.
 Secara utuh proses penilaian dengan model seperti di atas dapat kita lakukan dengan menggunakan software Simpel Teach dan Simpel LHB. Simpel Teach adalah sebuah aplikasi untuk membantu guru mulai dari membuat desain pembelajaran sampai kepada proses penilaian berbasis kompetensi dan penilaian berbasis kelas. Sedangkan Simpel LHB adalah sebuah aplikasi pengolahan nilai harian, nilai tengah semester dan nilai akhir semester. Pengolahan nilai memudahkan guru karena dengan sekali input saja maka pekerjaan seperti membuat Leger Nilai, Buku Induk Siswa dan Laporan hasil Belajar (Raport) dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Lebih lanjut kiunjungi aja situs kami di http://www.simpelpas.ltim.in/
Semoga Bermanfaat...!

Jumat, 10 Februari 2012

KECERDASAN TUNGGAL DAN KECERDASAN MAJEMUK (IQ,EQ dan SQ)

Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus.
Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Boleh jadi, secara langsung maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya.
Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).
Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)
Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).
Di Indonesia, penulis mencatat ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid – Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.
Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang : (1) Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar, 2001).
Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .
Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku manipulatif).
Manusia telah berhasil menciptakan “raksasa-raksasa teknologi” yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah bersiap-siap untuk menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama seperti Dinosaurus ?
Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan pinter, dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi maupun sebagai pendidik (calon pendidik)!
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang cageur, bageur, bener, tur pinter.
Sebagai penutup tulisan ini, mari kita renungkan ungkapan dari Howard Gardner bahwa : “BUKAN SEBERAPA CERDAS ANDA TETAPI  BAGAIMANA ANDA MENJADI CERDAS ! ”
Sumber Bacaan :
  • Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
  • Akhmad Sudrajat. 2006. Psikologi Pendidikan. Kuningan : PE-AP Press
  • Ary Ginanjar Agustian. 2001. ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Sipritual. Jakarta : Arga.
  • Basyar Isya. 2002. Menjadi Muslim Prestatif. Bandung : MQS Pustaka Grafika
  • Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl. 2002. Accelerated Learning for The 21st Century (terj. Dedi Ahimsa). Bandung : Nuansa.
  • Daniel Goleman.1999. Working With Emotional Intelligence. (Terj. Alex Tri Kancono Widodo), Jakarta : PT Gramedia.
  • E.Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
  • Gendler, Margaret E. 1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York: McMillan Publishing.
  • H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
  • Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
  • Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
  • Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung: PT Rosda Karya Remaja.
Semoga Bemanfaat !!!.....

Rabu, 25 Januari 2012

SILABUS DAN RPP BERKARAKTER ( EEK )

Kami membantu para guru di seluruh wilayah Indonesia untuk mendapatkan  Silabus dan RPP Berkarakter yang ada Eksplorasi, Elaborasi dan Konfirmasi ( EEK ) dalam rangka mempermudah proses pembelajaran kepada peserta didik serta guru itu sendiri dalam melengkapi perangkat pembelajaran yang sudah menjadi tuntutan wajib bagi guru yang sudah tersertifikasi.

Adapun perangkat pembelajaran terdiri dari

  • Silabus dan RPP tingkat SD dan MI yang lengkap dengan Pemetaan SK/KD, PROTA, PROMES, dan KKM.
  • Silabus dan RPP tingkat SMP dan MTs yang lengkap dengan Pemetaan SK/KD, PROTA, PROMES, dan KKM.
  • Silabus dan RPP tingkat SMA dan MA yang lengkap dengan Pemetaan SK/KD, PROTA, PROMES, dan KKM.
  • Untuk pemesanan per mata pelajaran silahkan anda sms ke 085240976887 dan sertakan alamat email Anda agar kami langsung kirim. 
  • Biaya per mata pelajaran Rp 50.000( infak ) dan jika pesan langsung dengan CD kami kirim via TIKI /POS langsung ke alamat anda dengan biaya per CD Rp 500.000 untuk semua mata pelajaran.
  • Biayanya di transfer ke norek kami di bawah ini:
ATAS NAMA :  ZAKIR.T.M.HUBULO
NOMOR REKENING : 053-004-1972

ATAS NAMA :  ZAKIR.T.M.HUBULO
NOMOR REKENING : 01-068-785-77


ATAS NAMA :  ZAKIR.T.M.HUBULO
NOMOR REKENING : 016-8010-2837-6502



  • RPP dan Silabus SD Berkarakter 2011 2012 terlengkap. Berisi SK KD, SILABUS, RPP, PROGRAM SEMESTER (PROMES), PROGRAM TAHUNAN (PROTA), PEMETAAN KD, KKM SD kelas 1 2 3 4 5 6. Mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA, IPS, Matematika, PAI, Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK), PKN, SENI BUDAYA & KETERAMPILAN (SBK) serta TEMATIK kelas 1, 2 dan 3. Serta banyak bonus lainnya.
  • RPP dan Silabus MI Berkarakter. Berisi SK KD, SILABUS, RPP, PROGRAM SEMESTER (PROMES), PROGRAM TAHUNAN (PROTA), PEMETAAN KD, KKM SD kelas 1 2 3 4 5 6. Mata pelajaran QURAN HADITS, AQIDAH AKHLAK, FIQIH, BAHASA ARAB, SKI. Serta banyak bonus lainnya.
  • Silabus dan RPP SMP berkarakter lengkap Eksplorasi, Elaborasi, Konfirmasi (EEK). Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA, IPS, Matematika, PAI, PJOK, PKn, SBK, TIK lengkap dengan PEMETAAN SK SMP Berkarakter, SILABUS SMP Berkarakter, RPP SMP Berkarakter, PROMES (Program Semester) SMP Berkarakter, PROTA (Program Tahunan) SMP Berkarakter, KKM SMP Berkarakter beserta banyak sekali bonus.
  • CD KTSP MTs Berkarakter – Silabus RPP MTs berkarakter terbaru Eksplorasi, Elaborasi, Konfirmasi (EEK) Program Semester. Mata Pelajaran AQIDAH AHLAK, BAHASA ARAB, FIQIH, QURAN HADIST, SKI MTs Berkarakter Lengkap dengan SK & KD MTs Berkarakter, PEMETAAN SK MTs Berkarakter, SILABUS MTs Berkarakter, RPP MTs Berkarakter, PROMES (Program Semester) MTs Berkarakter, PROTA (Program Tahunan) MTs Berkarakter, KKM MTs Berkarakter Beserta banyak sekali bonus.
  • RPP dan  Silabus berkarakter 2011 SMA ini

    Mata Pelajaran BIOLOGI, Ekonomi, Fisika, Geografi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kimia, Matematika, PAI, PJOK, PKn,Sejarah, SENI, Sosiologi, TIK.
    Didalamnya juga termasuk SK-KDPEMETAAN SK-KDSILABUSRPP,PROGRAM SEMESTER (PROMES), PROGRAM TAHUNAN (PROTA),KKMCD RPP Silabus SMA Berkarakter ini sangat lengkap yaitu mulai dari Kelas X (kelas 10), Kelas XI (kelas 11) dan Kelas XII (kelas 12) semester 1 dan semester 2.

    Ayo...! Mengapa harus ribet, menghabiskan waktu untuk download satu persatu? sekarang ada yang sudah tersedia dalam bentuk CD atau kami langsung email !

                        Silahkan SMS / CALL ke : 085240976887 sekarang juga.